Komisi B DPRD Jatim Jelaskan Poin-Poin Penting Raperda Kehutanan
Reporter
Muhammad Choirul Anwar
Editor
Nurlayla Ratri
27 - Nov - 2025, 04:33
JATIMTIMES - Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur (Jatim) bersama DPRD Jatim saat ini tengah menyusun Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Komisi B DPRD Jatim didapuk sebagai pembahas pada Tahapan Pembicaraan Tingkat I.
Juru bicara Komisi B DPRD Jatim Aulia Hany Mustikasari menjelaskan, Raperda ini disusun dalam rangka memperkuat landasan hukum pengelolaan kehutanan di Jatim. Selain itu, juga untuk meningkatkan efektivitas tata kelola hutan, serta mendorong keberlanjutan ekosistem hutan yang memiliki dampak besar bagi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Baca Juga : DPRD Kota Malang Gaspol Dukung Angkot Naik Kelas, Integrasi dengan Trans Jatim Diperkuat
"Melalui pembahasan bersama Perangkat Daerah terkait, Komisi B telah menyelesaikan Tahapan Pembicaraan Tingkat I atas Raperda ini dan memperoleh sejumlah kesepakatan bersama terkait arah pengaturan serta penegasan substansi yang menjadi inti pengaturan dalam Raperda Penyelenggaraan Kehutanan," ujar Aulia.
Politisi muda Partai Golkar itu mengemukakan, pembahasan terhadap Raperda ini diarahkan pada beberapa substansi strategis yang memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas tata kelola kehutanan.
"Setiap ketentuan yang dikaji difokuskan pada kebutuhan untuk memperkuat akurasi data, transparansi kebijakan, efektivitas pelaksanaan, serta partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kehutanan," urainya.
Salah satu fokus pembahasan adalah pengaturan mengenai proses pengukuhan kawasan hutan. Aulia menyebut, pembahasan menekankan bahwa pelaksanaan usulan dan rekomendasi dalam pengukuhan kawasan hutan harus melibatkan kelompok ahli kehutanan dan masyarakat.
"Pelibatan ahli diperlukan untuk memberikan dasar teknis yang memadai dalam memetakan kondisi ekologis kawasan hutan, sedangkan pelibatan masyarakat menjadi penting untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan kondisi sosial dan kebutuhan masyarakat di sekitar kawasan hutan," tandasnya.
Menurutnya, pendekatan ini dipandang mampu memperkuat legitimasi proses pengukuhan kawasan hutan serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
Lebih lanjut, pada pengaturan mengenai penatagunaan kawasan hutan, selama pembahasan menyoroti pentingnya memastikan setiap proses penataan ruang didasarkan pada kajian ilmiah yang disusun oleh tenaga ahli kehutanan. Kajian tersebut menjadi landasan untuk mengindari konflik pemanfataan ruang serta memastikan bahwa pemanfaatan kawasan hutan selaras dengan daya dukung lingkungan.
"Pendekatan berbasis kajian teknis ini diharapkan mampu memberikan arah yang lebih jelas dan terukur dalam kebijakan penataan ruang kehutanan di Provinsi Jawa Timur," paparnya.
Adapun dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan, pembahasan menekankan bahwa penyuluhan harus diselenggarakan secara terencana dan berjenjang guna meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemangku kepentingan.
Tenaga penyuluh dituntut memiliki kompetensi teknis yang memadai, terutama dalam pendampingan pengelolaan hutan lestari, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, serta mitigasi risiko bencana kehutanan. Penguatan peran tenaga penyuluh diharapkan mampu memperkuat keterlibatan masyarakat dalampengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Baca Juga : Bus Trans Jatim Ramai Penumpang, Angkot di Terminal Kota Batu Ikut Diserbu
"Partisipasi masyarakat dipandang sebagai elemen utama dalam menjaga kelestarian hutan, karena masyarakat merupakan pihak yang paling dekat dan paling terdampak oleh kondisi hutan," urainya.
Selama pembahasan, Komisi B juga menyoroti perlunya penguatan percepatan perhutanan sosial melalui pembentukan kelompok kerja yang ditetapkan oleh gubernur dengan keanggotaan lintas unsur pemerintah dan masyarakat.
"Kelompok kerja ini berfungsi mengoordinasikan percepatan pelaksanaan perhutanan sosial, mulai dari sosialisasi, fasilitas permohonan, validasi berkas, pendampingan kelompok, hingga dukungan penyelesaian sengketa sosial dan tenurial," urainya.
Selain itu, kelompok kerja bertugas mencermati Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial, menyusun rencana kerja, dan menyampaikan laporan pelaksanaan secara berkala serta membangun koordinasi dalam kelompok kerja di tingkat kabupaten/kota dan nasional.
"Penguatan peran dan mekanisme kerja kompok ini diharapkan mampu menjadikan percepatan perhutanan sosial lebih terarah, efektif, dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar hutan," pungkasnya.
Raperda tentang Penyelenggaraan Kehutaanan ini secara keseluruhan terdiri atas 20 Bab dan 83 Pasal dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I: Ketentuan Umum
Bab II: Tugas dan Wewenang
Bab III: Perencanaan Kehutanan
Bab IV: Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan Penutupan Hutan
Bab V: Pemanfaatan Hutan
Bab VI: Pengolahan Hasil Hutan
Bab VII: Penggunaan Kawasan Hutan
Bab VIII: Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Reklamasi Hutan
Bab IX: Pelindungan dan Konservasi Alam
Bab X: Pengelolaan DAS
Bab XI: Pengelolaan Perhutanan Sosial
Bab XII: Penyuluhan Kehutanan
Bab XIII: Kerja Sama Daerah
Bab XIV: Partisipasi Masyarakat
Bab XV: Sistem Informasi Kehutanan
Bab XVI: Pembinaan dan Pengawasan
Bab XVII: Sanksi Administratif
Bab XVIII: Pendanaan
Bab XIX: Ketentuan Peralihan
Bab XX: Ketentuan Penutup
